Sunday, November 25, 2012

Tugas Cerpen ku




Siapakah yang mampu hidup tanpa cinta?

Manusia  hidup karena cinta. Pohon tumbuh tinggi, juga berbuah karena cinta. Dan segala benda dalam alam raya tunduk patuh menyembah Allah  pun juga atas dasar cinta. Pun Allah menciptakan amnesia agar saling sayang-menyayangi.

Apa takdir mengatakan aku tak akan mendapat kasih sayang manusia bahkan seorang ibu pun.

“Ibu?  Apa itu?  Selaikah?  Apa aku punya ibu?”

Siti Aisyah

ya, nama itu yang menurut ayah sebagai ibuku.

Aku tak pernah memikirkannya, mendengar nama itu hanya terbayang wanita separuh usia yang berbaju kumal, yang sudah tak ada di dunia ini. Tak pernah sekalipun aku melihatnya, memeluknya, apalagi di sanyangi olehnya.

Aku ragu mungkinkah aku dilahirkan dari rahim atau dari dipungut ditengah jalan.

“Plakk..” Tampar ayahku

“Sudah pagi,ayah berangkat kerja, cepat siap-siap berangkat sekolah” sambil membetulkan dasi.

“hmmmm”masih terkulai lemas

Memang, ayah  keras kepadaku semenjak SD hingga SMA sekarang ini tak jarang memarahi semua ulah ku yang beberepa kali ayah menerima surat panggilan orang tua. Bahkan sering  aku dimarahi ayah sebagai pelampiasan dirinya sepulang kerja.

Tanggal 4 Maret 2012, petugas sekolah menyampaikan surat kepada ayahku ditempat kerja. Benar sudah sering petugas membawa surat untuk diberikan kapada ayahku, begitu sibuk nya ayah sampai-sampai sering meminta diantarkan ke tempat kerja begitu sibuk pula kepadaku anaknya sendiri. Ini juga akan menjadi surat terakhir bagiku.

 Selamat Siang, Pak” menjabat tangan dengan sedikit senyum

“Anda?” dengan heran

“Anak saya kenapa lagi pak?”

“Mohon maaf pak Saya kurang tau menahu, saya hanya menjalankan amanah menyampaikan surat untuk Bapak Burhan”mencoba menenangkan

“Iya pak kalau begitu saya ucapkan terima kasih”

“Sama-sama pak, Selamat siang.”

   Dibukanya surat itu,begitu raut mukanya memerah seperti ingin mengobrak-abrik seluruh isi ruang kantornya

“keterlaluan” sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ya benar, aku berulah lagi disekolah. Begini, Saat pelajaran seni guruku pak Jamal mengadakan penilaian  seni bernyanyi. Guru baru ini tak pernah suka dengan gaya belajarku yang urakan apalagi dalam menyampaikan materi sering sekali menyindir aku. Memang mungkin yang ia tau aku hanya pembuat onar di sekolahan ini. Padahal aku yakin aku sedikit lebih jago dalam hal seni di banding murid lain sekelasku apalagi menyanyi Memang telah disengajakan aku untuk di terakhirkan diberi penilaian.

Hingga giliranku.

            “Yang terakhir... brandalan maju kamu”meremehkan

Yang tadinya semangat pun aku menjadi tak berminat lagi, tak ada gairah aku maju mengikuti penilaian ini.

“Tadi pengen pak,sekarang males ngantuk”

“Andi, maju kamu..!”membentak

“ Iya”bangkit dari kursi

“Sekarang nyanyi kamu” sedikit memaksa

“oke pak”

Aku menyanyi sacara asal-asalan berulang kali aku ditertawakan oleh teman sekelas,aku tak perduli aku tak bergairah lagi ikut palajaran seni aku ingin membuat kesal guru yang satu ini.

“Cukup..! mau kamu apa?”

“Dihargai”kataku dengan mata tak menghiraukan

“Memang saya tukang pecel, menghargai.. Duduk..! ”(tak mau menjawab)  “murid enggak berguna”

Tersinggung mendengar itu aku menimpali

“Brengsek,kau.. guru macam apa ini” memukul meja

“Ooo.. berani kamu ya sudah hebat.. mau sok-sokan,angkat kamu kaki dari sini..!”

“sial” kesalku

 Mendengar itu aku langsung bolos sekolah ngelayap entah kemana tak jelas bersama teman-teman satu geng motor  yang mayoritas sudah sekolah lagi bukan hanya yang sudah lulus SMA tetapi juga banyak yang putus sekolah, enggak mampu? Anak direktur coy kita kita yang disini nasib nya hampir sama keluarga mampu-mampu tapi nggak ada tu yang namanya idup ama orang tua. Dirumah idupnya ama pembantu, sibuk sendiri cari duit.

Tak terhitung lagi aku kena skorsing,denda, panggilan orang tua gara-gara ulah yang aku buat dan memang males ngitunglah. Merokok menghabiskan massa yang selalu lengang ini, lupakan kekesalan yang ada.

Sepulangny aku menuju istana penjaraku kubuka pintu depan kulihat ayah seperti  sudah menunggu kulihat juga kertas surat panggilan orang tua itu di genggaman tangan ayah. Tanpa berkata apapun tamparan tangan ayah mendarat dipipi kiriku..

“PPlaak....”

“Mau jadi apa kamu,ha.. Tak bosan-bosan kamu berulah mau jadi preman kamu, iya?”

Aku diam saja mendengar semua kata ayahku yang kuanggap ocehan dengan mata tak menghiraukan.

“apa kamu sudah tak sayang lagi dengan masa depan mu?”

“Kenapa? Apa bedanya dengan ayah tak pernah memikirkan aku ibu juga sama sedikitpun tak pernah memberi kasih sayang di rumah ini.”

Sekejap ayah seperti kehabisan kata-kata raut merah wajahnya pudar berganti begitu dingin ayah terduduk disofa suasana berubah menjadi sunyi, hingga ayah meneteskan air mata. Ya aku yakin itu ayah menangis

Ayah menegapkan badannya tak berkata apapun, tiba-tiba satu buku terjatuh disela kertas-kertas surat yang ayah bawa,warnanya merah ayah tak menghiraukannya berjalan terus menuju kamar.

Penasaran,Pelan-pelan aku dekati buku itu “ALBUM IBU”.

apa? Ibu?”  Aku semakin penasaran hingga kuambil buku itu

Kubuka sampul buku merah itu kulihat foto ayah bersama seorang wanita dengan bayi digendongnya. Kubuka satu halaman lagi kulihat foto ayah lagi dengan wanita yang sama dengan bayi yang beranjak lebih besar.

“tunggu dulu, bayi itu... aku”

jadi ini.... ibu?

Seperti ada kilat yang menyambar tangan ku, aku semakin gemetar untuk membuka halaman demi halaman kulihat foto dari halaman yang lain.

ya ampun ibu

semakin kurus dan semakin kurus lagi.tak terasa air mata mulai membasahi pipi ku rasa benci ku selama ini kepada ibu berganti cinta serta rasa kasihan yang mendalam. Di dalam nya terdapat tulisan

 “ Ibu menyayangimu andi,bagi ibu engkau selalu menjadi malaikat kesebelas ibu... Banggakan ayah anakku maaf ibu tak bisa mengurusmu”

Kubuka halaman terakhir ...

            ibuuu......” tangisku meledak,air mataku berderai-derai.

 foto ibu terbaring dirumah sakit bersama keluarga yang hadir dengan keadaan sedih. Dokter yang sedang menutup seluruh tubuh ibu dengan kain selimut tanda nyawa ibu tak tertolong.

 air mataku bercucuran menetesi bibirku dada ini terasa sesak nafasku yang begitu tersengal-sengal.aku berlari menuju kamar ayah air mata menetes dilantai rumah ku. Aku tak perduli. Aku memeluk ayah, sungguh menyesal aku berkata kasar terhadapnya. Terasa parasaan haru yang amat dan cinta,dalam keharuan terasa ada hawa sejuk turun dari langit dalam jiwaku

aku meminta maaf kepada ayah aku akan merubah diriku menjadi yang terbaik untuk membanggakan ayah serta semuanya.

            Akhirnya ayah memindahkan aku ke sekolah dengan lingkungan pedesaan dengan lingkungan yang baru, aku yakin aku bisa meraih kembali mimpi yang selama ini terpendam jauh..
terkadang kita tak pernah meluangkan waktu menyadari betapa pengertiannya kedua orang tua kita. Membanting tulang berpanas-panas disawah  mencari nafkah demi kebutuhan dan keinginan yang kita pinta.justru mungkin kita tak mau tahu dari siapa atau dari mana ibu kita uang untuk uang jajan kita tiap hari. lebih dari itu
Sahabat pembaca, serta temanku yang di compas, yuk bareng sama2
"ibu.. aku .."
"yah.. mulai saat ini aku ingin berbakti.."
 ya rabb berilah ibu,ayahku tempat terbaik di sisimu kelak saat aku tak mampu lagi menemaninya.. amin
 

 
Tamat.!
Nb: Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama,gelar,dll.

dari aku untuk ayah ibuku
^prof..




Monday, November 19, 2012

Cerita Cinta



 

Suatu hari Seorang ibu duduk di samping seorang Kakek tua berkursi roda disebuah bangku taman pada suatu minggu sore cerah. “Itu tu cucuku.. itu..”kata kakek sambil menunjuk bocah laki-laki berkaos kuning yang sedang main ayunan,Ibu itu tersenyum dengan mata berbinar.

“wah.. aktif sekali ya cucu kakek” kata ibu itu. “itu kek, itu anak saya” katanya pun sambil menunjuk bocah perempuan yang sedang bermain pasir.

Kakek itu melihat langit, melihat matahari yang semakin turun “fajar..” panggil nya, “fajar.. sudah sore ayo kita pulang”

Fajar,dengan wajah tertunduk,”kek,sebentar lagi ya kek..? sepuluh menit lagi aja,boleh kan ya? Kan Cuma sepuluh menit kok..yaa? ? Dengan sedikit senyum kakek itu hanya mengangguk.